Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menyelenggarakan upacara Peringatan Hari Aksara Internasional 2021 di halaman upacara kantor Kemdikbudristek, Rabu 8 September 2021. Upacara yang dipimpin Mendikbud Ristek Nadiem Anwar Makarim ini disiarkan secara virtual melalui YouTube, Zoom Meeting dan live sosial media. Acara ini juga dihadiri ribuan pegiat dan aktivis keaksaraan dan pendidikan kesetaraan.
Angka buta aksara di Indonesia terus mengalami penurunan setiap tahunnya seiring dengan terlaksananya berbagai strategi yang inovatif dan sinergi berbagai pemangku kepentingan.
Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, persentase dan jumlah penduduk buta aksara telah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan persentase dan jumlah buta aksara tahun 2021. Dari tahun 2019 dan 2020 untuk jenjang usia 15 sampai 59 tahun di Indonesia pada 2019 ada sekitar 1,78% warga negara Indonesia buta aksara. Kemudian tahun 2020 menurun menjadi 1,71% dan masih ada 6 provinsi yang memiliki tingkat tinggi buta aksara. Buta aksara tertinggi terjadi di Papua kira-kira sebanyak 22% di tahun 2020. Kemudian ada NTT, NTB, Sulawesi barat dan Kalimantan tengah.
“Persentase buta aksara tahun 2019 ada 1,78 persen atau 3.081.136 orang. Dan pada 2020 turun menjadi 1,71 persen atau menjadi 2.961.060 orang,” ujar Direktur Jenderal PAUD Dikdasmen Kemendikbudristek, Jumeri pada Bincang Pendidikan secara virtual, Rabu, 8 September 2021 di Jakarta.
Adanya kegiatan aksara internasional ini, ujar Jumeri, urgensinya adalah untuk penguatan kembali komitmen seluruh negara dari anggota UNESCO untuk menuntaskan program pemberantasan buta aksara.
“Seperti tertuang dalam target sustainable development goals bersama secara internasional kita ingin memastikan bahwa pendidikan inklusif dan berkualitas setara dan mendukung kesempatan seumur hidup bagi semua warga negara,” katanya.
Harapannya pada 2030 harus dipastikan bahwa semua pelajar dan orang dewasa baik laki-laki maupun perempuan mencapai kemampuan baca tulis dan kemampuan berhitung yang prima. Oleh karena itu, sebagai anggota UNESCO, Indonesia sangat mendukung program OECD dan telah ditindak lanjuti.
“Untuk urgensi literasi ini dapat kita sampaikan bahwa menurut UNESCO, literasi bukan hanya terkait dengan kemampuan baca tulis saja. Ada juga kemampuan yang berbentuk kemahiran yang memungkinkan warga negara untuk tetap terlibat dalam pembelajaran sepanjang hayat dan mampu berpartisipasi penuh dalam komunitas tempat kerja,” tutur Jumeri.
Untuk mengatasi hal tersebut, ada beberapa strategi yang dilaksanakan. Pertama adalah pemberantasan buta aksara di Indonesia yang dilaksanakan Kemendikbud Ristek, penurunan buta aksara kemudian mengalami penurunan di angka kurang dari 1%. Indonesia masih punya angka 1,71 per tahun 2024 itu artinya kurang dari 1% dan akan menjadi kurang dari ½ % pada 2030 mendatang.
“Strategi kedua adalah untuk meningkatkan literasi remaja khususnya anak sekolah dalam mengembangan kurikulum pada peguasaan kompetensi dan penguasaan karakter. Dari kurikulum tersebut kita lakukan penguatan literasi, numerasi serta karakter,” ujar Jumeri.
Strategi yang ketiga, lanjut Jumeri, adalah meningkatkan kualitas pendidikan dan penguatan literasi masyarakat menjadi semakin penting dan mendesak terutama diera pandemi Covid-19 ini. Strategi keempat adalah kerjasama dan kolaborasi satuan pendidikan dengan berbagai pihak harus terus dikembangkan secara terprogram dan berkesinambungan.
“Upaya tersebut tidak bisa berhasil dengan baik tanpa kerja keras para peserta dan dukungan yang kuat dari lembaga dan berbagai pihak, termasuk para penggiat literasi masyarakat. Harapan kita pada masyarakat adalah bebas dari buta aksara,” kata Jumeri.
Sementara itu, Harris Iskandar PhD., Ketua Satgas Covid-19 Kemdikbud Ristek mengatakan, ada 3 potensi putus sekolah pada anak-anak. Pertama pencapaian belajar dan potensi kekerasan pada anak jadi resiko putus sekolah dan anak anak usia dini dipaksa untuk bekerja.
“Kita bisa melakukan sosialisasi program kesetaraan. Jangan sampai anak-anak putus sekolah. Ada paket pendidikan yang sudah disediakan jadi anak anak tidak ada yang putus sekolah. Lalu melakukan kegiatan kampanye pendidikan bagi anak dengan melakukan kolaborasi antara satuan pendidikan, guru dan orang tua agar orang tua punya persepsi,” kata Haris.
Lalu yang kedua adalah dunia game. Kesenjangan yang masih melebar antara yang diakses dengan internet dan yang tidak diakses dengan internet. Karena infrastruktur yang belum merata seperti ketersediaan listrik dan internet. Tingkat infrastruktur yang tidak merata ini akan menghambat kurangnya kemampuan keaksaraan masyarakat.
“Kemudian ada kesenjangan yang semakin luas antara anak desa dan anak kota dalam mengenal teknologi. Ketersediaan serta keterjangkauan jaringan, kualitas jaringan dan pemerataan pembangunan internet belum sampai ke seluruh pelosok negeri. Selain itu juga peningkatan literasi digital bagi masyarakat luas dan bahayanya informasi masih simpang siur,” imbuh Haris.
Lalu yang ketiga adalah adanya learning loss pada skor pisa akan menurun sampai 21 poin dan menyebabkan kompetensi dan produktivitasnya pada siswa tidak optimal.
“Sebanyak 69 sekolah di beberapa kabupaten mengalami penurunan dan menjadikan indikasi potensi learning loss. Dua solusi pemerintah dalam pendidikan adalah menyelenggarakan remedial dan melakukan dedikasi merajut asa dan esensial yang harus dikuasai oleh siswa serta memberikan waktu yang cukup untuk beradaptasi,” pungkasnya. (*)