Menurut hasil penelitian BNN, permasalahan narkoba saat ini yang paling banyak penggunanya adalah usia pendidikan tingkat SMA. Hal ini harus diwaspadai berbagai pihak, terutama guru dan orang tua.
Jika pada tingkat SMA sudah menyalahgunakan narkoba, itu artinya ia perlu mendapatkan pengetahuan-pengetahuan atau informasi terkait bahaya narkoba. Namun sebelum mengedukasi dan mendampingi anak-anak terkait bahaya narkoba, guru, tenaga kependidikan, kepala sekolah dan orang tua harus paham terlebih dulu terkait bahaya penyalahgunaan narkoba. Hal tersebut disampaikan langsung Eva Fitri Yanita S.Pd., Kedeputian Bidang Pencegahan, BNN.
“Kenapa tenaga kependidikan dan orang tua harus paham terlebih dulu karena mereka kenal dekat sama dunia anak-anak dan lebih mudah untuk mengedukasinya,” kata Eva.
Eva mengatakan, anak-anak harus dibekali pemahaman terkait fokus dan tujuan mereka seperti apa. Selain itu juga mengedukasi mereka jika tidak ada sesuatu yang instan termasuk dalam mencapai apa yang mereka impikan.
“Karena narkoba itu kan menawarkan yang instan. Di sini ada risiko sangat besar yang harus disampaikan. Misalnya saja di-blacklist lingkungan masyarakat sehingga para pengguna narkoba tidak akan punya kesempatan untuk mengembangkan dirinya,” tambah Eva.
Dalam menghadapi permasalahan narkoba di satuan pendidikan ini, menurut Eva, penting sekali membangun sinergitas. Salah satunya melalui program sekolah bersih narkoba. Selain membentuk relawan, mengampanyekan bahaya narkoba, melalui program tersebut tenaga kependidikan dapat membuat regulasi. Karena sejauh ini belum ada bagian-bagian khusus membantu menangani pencegahan penyalahgunaan narkoba di usia sekolah dan remaja termasuk di level SMA.
“Nanti pihak sekolah tidak hanya bisa melakukan koordinasi ke pihak berwajib seperti polisi, tapi juga bisa melakukan koordinasi ke BNPB, BNN atau ke dinas Dinas Kesehatan, Dinas Pemberdayaan Perempuan. nah sejauh ini itu belum ada bagian-bagian khusus kesana di sekolah-sekolah,” tutur mantan pengajar tersebut.
Eva mengaku tengah bekerja sama untuk membuat perumusan kurikulum pelaksanaan pencegahan narkoba di lingkungan SMA. Perumusannya melibatkan komunitas guru dan siswa itu sendiri.
Sosialisasi dapat dilakukan melalui kegiatan di sekolah dan teladan keterampilan hidup sebagai modal dasar peserta didik. Selain itu, edukasi juga dapat dilakukan dengan melakukan berbagai macam project buat anak-anak SMA.
“Melalui project-project tersebut membuat mereka percaya diri karena tahu informasi apa yang dibutuhkan dan apa yang harus diinformasikan. Karena jika kita hanya menampilkan jenis dan gambarnya itu sudah banyak dilakukan. Tapi fokus kita adalah bagaimana cara menanganinya,” ujar Eva.
Eva menyebutkan, ada tiga faktor yang memengaruhi anak-anak dan remaja terjerumus dalam penyalahgunaan narkoba, di antaranya ‘kepo’ atau rasa ingin tahu, membutuhkan pengakuan dan faktor lingkungan.
Kalau seorang anak tidak memiliki rasa percaya diri dan butuh pengakuan dari lingkungan, itu yang akan membuatnya tidak memiliki pegangan. Sang anak diyakini tidak mempunyai kemampuan untuk menolak.
“Orang yang mudah terpengaruhi itu dia yang tidak memiliki self-regulation dan reaching out yang baik,” tutur Eva.
Sementara faktor lingkungan yang memengaruhi remaja rentan bisa terjadi karena lingkungan sosial maupun lingkungan tempat sekolah. Jika direktorat SMA ingin membangun lingkungan yang baik salah satu contohnya adalah melalui sekolah bersih narkoba
“Tiga dimensi yang disebutkan itu sangat dibutuhkan untuk ketahanan diri remaja sesuai dengan yang sudah kita survei dan kita petakan,” tuturnya.
Selain membentuk program sekolah bersih narkoba dan keteladanan bahaya penyalahgunaan narkoba, upaya lain untuk membangun ketahanan diri pada siswa khususnya generasi Z adalah dengan melahirkan revolusi mental. Caranya melalui sikap teladan dari para tenaga pendidiknya.
David Krisna, Ahli Gerakan Gugus Tugas Gerakan Nasional Revolusi Mental mengatakan, keteladanan sangat memiliki pengaruh efektif kepada murid. Menurutnya, harus ada keteladanan dari guru ke murid. Selain itu, untuk membangun revolusi mental pada anak didik dengan menciptakan ruang-ruang dialog dan memberikan nilai-nilai kebaikan publik.
“Karena poin utama dalam revolusi mental itu adalah moralitas publik bukan moralitas privat. Jadi bagaimana para murid ini menjadi sadar bahwa dirinya adalah salah satu bagian dari komunitas publik, komunitas keindonesiaan jadi itu yang penting. Karena sebagai komunitas Indonesia nilai-nilai keindonesiaan seperti etos kerja, gotong royong, integritas perlu ditanamkan guru ke muridnya,” kata David menjelaskan.
Ruang dialog publik di sekolah dianggap bisa menguatkan toleransi di sekolah. Ada ruang dialog yang dibuka agar mereka mau memperkuat nilai-nilai kebangsaan.
“Tapi poin penting dari revolusi mental untuk pelaku pendidik adalah bagaimana menciptakan paguyuban antar murid, antara sekolah dari guru kepada murid atau dari murid ke sekolah,” tutupnya. (*)